Sabtu, 21 Januari 2017

7 Manfaat Berorganisasi Bagi Mahasiswa

Sebenarnya ini lagu lawas, hampir semua mahasiswa pasti tahu dan paham betul manfaat berorganisasi selama kuliah. Alasannya jelas, karena kehidupan kemahasiswaan sudah seharusnya tidak hanya duduk manis di kelas, mendengarkan dosen komat-kamit, mencatat komat-kamit tersebut, lalu pulang ke kosan mempelajari ulang catatan komat-kamit yang sudah dibuat, dan saat UAS kita hanya menuliskan ulang komat-kamit yang telah dipelajari. Tentu tidak.
Kehidupan kemahasiswaan menyimpan jutaan peluang dan tantangan. Banyak sekali hal yang bisa digali saat kita memiliki kartu identitas mahasiswa. Kamu bisa bertemu dengan tokoh dan sosok yang luar biasa, dari mulai sesama mahasiswa, lalu dosen, pejabat, peneliti, aktivis, praktisi, akademisi, pengusaha, dan lain-lain.
Kamu juga bisa berburu beasiswa yang keren, ikut summer camp internasional, student exchange ke luar negeri, dan kesempatan magang di perusahaan impian karirmu. Ingin cari uang? Beragam lomba inovatif banyak tersedia hanya bagi mereka yang mahasiswa, begitupun hibah penelitian/riset yang tentunya bisa mengasah kemampuan ilmiahmu.
Belum lagi jika kamu punya kartu identitas mahasiswa, kamu bisa dapat diskon di kafe tertentu, rental film, karaoke, dugem, dan lain sebagainya

Nah, kemudian, bagaimana cara menggali harta karun yang hanya bisa didapat oleh seorang mahasiswa? Perlu diingat pula bahwa sebagai mahasiswa, secara idealis kita adalah kaum intelektual yang diberi kesempatan oleh bangsa ini untuk mencicipi level pendidikan yang lebih tinggi daripada sebagian besar manusia di muka bumi.
Kuliah pada dasarnya adalah sebuah jenjang pendidikan dimana kita seharusnya menjadi manusia dengan wawasan dan keterampilan yang hebat. Nantinya, dengan wawasan dan keterampilan ini, kita harus siap untuk bekerja dan berbakti untuk masyarakat melalui pos-pos pekerjaan dari disiplin ilmu masing-masing.
Oke, pertanyaan kembali berulang. Lantas, bagaimana cara kita menggali potensi diri sebagai mahasiswa? Cukupkah hanya dengan pagi-siang-sore belajar di kelas/perpustakaan dan malamnya belajar di kosan, berbulan-bulan lamanya hingga UAS menjemput? Tentu tidak.
Di kehidupan kuliah, kita akan bertemu beragam organisasi, komunitas, kegiatan, dan wadah-wadah minat dan bakat lainnya. Umumnya di tiap Perguruan Tinggi ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) baik tingkatnya fakultas maupun universitas, yang bergerak di bidang olahraga, seni, kerohanian, jurnalisme, wirausaha, pecinta alam, keilmuan, dan lain sebagainya.
Nah kemudian, haruskah mahasiswa ikut organisasi tersebut? Perlukah kita punya kegiatan selain belajar dan kuliah di kelas? TENTU SAJA PERLU! Oke, memangnya apa saja manfaat berorganisasi atau berkegiatan di luar kuliah? Kenapa kita harus berorganisasi? Berikut beberapa poinnya:

1. Berorganisasi itu, mengasah Soft Skill

Pernah dengar tentang kedua skill yang berbeda ini? (via hrone.lu)
Pernah dengar istilah Hard Skill dan Soft Skill? Gampangnya, Hard Skill itu kemampuan teknis yang kita pelajari melalui disiplin ilmu. Misalnya, kamu jago ngutak-ngatik komputer, bisa ngerakit mesin mobil sendiri, paham Undang-undang Ketenagakerjaan, tahu cara menanam cabai yang baik, ahli dalam membuat novel sastra, dan lain sebagainya.
Pentingkah Hard Skill? Penting! Mahasiswa Ilmu Komputer jelas harus bisa ngutak-ngatik komputer, mahasiswa Teknik Mesin jelas jago ngerakit mobil, bagaimana mungkin mahasiswa Sarjana Hukum bisa jadi pengacara handal kalau tidak paham UU? Mahasiswa Pertanian pastilah tahu iklim seperti apa yang cocok untuk menanam cabe, serta Mahasiswa Sastra adalah sastrawan masa depan.
Namun yang sering dilupakan adalah Soft Skill, yaitu kemampuan manajemen diri maupun manajemen orang lain. Soft Skill contoh mudahnya adalah bagaimana kamu bekerja dalam tim, bagaimana kamu mengatur bawahan, bekerja sama dengan rekan sepantaran, maupun menerima perintah dari atasan. Bagaimana kamu mengatur waktu, bagaimana kamu berdisiplin, bagaimana kamu mengatur target yang luar biasa tapi realistis.
Dalam Soft Skill tiba-tiba materi kurikulum buku kuliah dan komat-kamit dosen tidak banyak bermanfaat, karena sekarang kamu berkutat dalam hal-hal kecil namun esensial seputar hubungan antar manusia. Kamu belajar dipimpin di suatu saat, dan memimpin di saat lain. Bagaimana caranya berdisiplin mengerjakan tugas yang telah diamanahkan? Bagaimana caranya memberi amanah pada orang lain? Lalu, bagaimana caranya menangani konflik yang pasti terjadi dalam sebuah kelompok? Itulah Soft Skill, dan tentunya tidak tercantum di dalam pasal UU manapun, dan tidak pula ada hubungannya dengan cabe.
Ini adalah sesuatu yang hanya bisa kamu dapatkan kalau kamu mau keluar kelas kampusmu yang pengap itu, dan berorganisasi! Semua organisasi selalu menyimpan edukasi Soft Skill yang sama baiknya. Di semua organisasi kamu akan bekerja dalam tim, kamu akan mendapat tugas dari pengurus organisasimu, dan kelak kamu akan menjadi pengurus organisasimu dan memberi tugas pada anggota baru.
Contohlah jika kamu masuk ke UKM Sepak Bola, sebagai anggota baru kamu diminta untuk membentuk tim kesebelasan bersama anggota baru yang lain. Formasi apa yang mau diterapkan? Siapa jadi kiper, back, midfield, dan forward? Siapa jadi kapten?
Ternyata kamulah yang ditunjuk jadi kapten, otomatis kamulah leader tim kesebelasan yang  baru bayi ini. Bisakah kamu memimpin forum briefing strategi tim ini? Apa saja target program latihan kalian? Tiap hari apa saja kalian bisa latihan? Tentunya saat latihan sebelas orang ini harus hadir, karena kalau ada satu saja yang tidak hadir, tentu kerjasama dalam permainan tidak terbentuk.
Alkisah, semisalnya kamu adalah mahasiswa Jurusan Politik, kamu sadar bahwa di kampus kamu tidak pernah diajari bagaimana caranya menyatukan jadwal sebelas orang agar bisa kumpul latihan sepak bola seminggu sekali.

2. Berorganisasi itu, memperluas jaringan!

Pernahkah terbayang, peluang seperti apa yang akan kamu dapat jika kamu terkoneksi dengan banyak orang? (perey.com)
Oke, jadi bayangkan sekarang kamu sudah berorganisasi. Alhamdulilah, temanmu pun tambah banyak, tidak seperti dulu saat temanmu hanyalah anak-anak satu jurusan dan satu fakultas.
Sebagai anak Jurusan Politik, kini kamu punya teman dari Jurusan Teknik Mesin, Akuntansi, Peternakan, dan Sastra Jepang. Hidupmu tiba-tiba lebih berwarna karena kamu punya teman diskusi yang topik pembicaraannya variatif, tidak melulu membahas manuver politik Koalisi Merah Putih pasca Pilpres. Kini jaringanmu bertambah luas! Teman fesbukmu bertambah dan follower twittermu bertambah, kini kamu punya jaringan!
Bayangkan di saat kamu kuliah, ada temanmu yang Jurusan Hubungan Internasional membutuhkan referensi tentang kebudayaan Jepang. Temanmu kebingungan karena ia tidak punya teman yang berasal dari jurusan sastra. Dengan mudahnya kamu memberikan nomor telepon temanmu yang Jurusan Sastra Jepang, yang kamu temui di UKM Sepak Bola.
Di kesempatan yang lain, sehabis latihan sepak bola, kamu bersama kesebelasanmu makan bersama di warung terdekat. Kemudian temanmu yang jurusan Akuntansi curhat, ia mengungkapkan bahwa ia ingin sekali berwirausaha, ia punya keahlian dalam membuat manajemen keuangan dan juga punya modal jutaan rupiah hasil dia magang di Unilever beberapa waktu yang lalu, namun kini dia tidak punya ide mau wirausaha apa.
Lantas temanmu yang lain, yang jurusan Sastra Jepang ikut menimpali. Dari dulu dia ingin sekali bikin warung masakan Jepang di Yogyakarta, namun sebagai inovasi, ia ingin warung tersebut desainnya adalah angkringan, yang merupakan khas kota ini. Ide yang luar biasa!
Bagaimana dengamnu? Kamu tidak paham apa-apa tentang Jepang, tidak jago mengelola keuangan juga, tapi kamu sangat ingin berwirausaha! Lalu kamu ingat, kamu adalah mahasiswa semester akhir yang punya banyak waktu luang! Akhirnya kamu menawarkan diri menjadi pelayan angkringan itu secara full-time. Di luar dugaan, ternyata kedua temanmu mengangkatmu menjadi manajer utama dari usaha kalian bersama, alasannya karena kamu sudah dianggap pemimpin mereka sejak menjadi kapten di kesebelasan ini.
Luar biasa bukan? Ilustrasi tentang mahasiswa UKM Sepak Bola ini memang fiksi, namun angkringan masakan Jepang memang nyata ada di Yogyakarta. Namanya Waza-waza Angkringan Bento, sebuah angkringan profesional yang menjual makanan dan jajanan Jepang. Konon, menurut hasil perbincangan saya dengan pelayannya, pendiri angkringan itu memang kolaborasi mahasiswa Jurusan Ekonomi dan Sastra Jepang. Begitulah cara jaringan bekerja.
Lihat kan bagaimana jaringan yang luas akan menambah begitu banyak kesempatan dalam hidupmu? Tentu ini hanya contoh kasar, masih banyak lagi permainan jaringan yang bisa kamu lakukan ketika kamu sudah berorganisasi. Bayangkan jika kamu bergabung di UKM Penelitian, bayangkan kamu akan bertemu dengan banyak mahasiswa peneliti, bahkan bisa berkenalan dengan ilmuwan peneliti idolamu ketika organisasimu sedang bikin acara yang melibatkan ilmuwan tersebut.

3. Berorganisasi itu, mewadahi minat, mempertajam bakat

Siapa tahu kamu memang cocok berkarir dalam hal yang kamu tekuni di organisasi! (wikimedia.org)
Seperti halnya pada poin satu, bahwa dengan berorganisasi maka soft skill akan terasah, begitu pun hard skillmu! Kembali ke contoh bahwa kamu mahasiswa Jurusan Politik, maka dengan ikut UKM Sepak Bola, bakatmu dalam bermain bola pun terasah, siapa tahu kamu malah jadi atlet!
Atau jika pun mungkin kamu tidak akan berkarir di dunia sepak bola seperti Evan Dimas, minimal minat hobimu tersalurkan dan kamu terhibur melakukan sesuatu yang kamu suka. Coba kalau kamu tidak ikut UKM ini, apa mungkin di kampus ada yang bisa mengajarimu mengambil tendangan bebas? Tentu tidak, karena di kampus kamu hanya diajari teori Hegemoni dan Politik Subalternnya Antonio Gramsci :)
Intinya, kamu jadi bisa mempelajari ilmu interdisipliner dengan berorganisasi. Jika kamu anak Kedokteran Umum, kamu bisa ikut organisasi Pers Mahasiswa dan paham tentang jurnalisme. Lumayan menghibur setelah seharian ini kamu melototin sel darah.
Sebaliknya, jika kamu mahasiswa Filsafat, kamu bisa ikut Unit Kesehatan dan belajar cara memberi nafas buatan, yang mungkin tidak diajari oleh Aristoteles.

4. Berorganisasi itu, Putting Theory Into Practice

keduanya sama-sama penting (onjacksonstreet.com)
“Percuma saja berteori, tanpa ada praktek nyata.” Well, sebenarnya persepsi ini mesti direvisi sedikit. Pada dasarnya teori lahir berkat praktek empiris di lapangan, dan praktek tentu hanya akan jadi omong kosong bila dilakukan tanpa ada dasar teori yang jelas. Jadi keduanya penting.
Ada teori yang mengatakan bahwa Indonesia perlu dikembangkan sebagai negara maritim, bukan agraris. Tahu darimana? Tentu dilihat dari data di lapangan tentang proporsi laut dan darat yang ada di Indonesia , serta penelitian empiris yang mengidentifikasi peluang apa yang selama ini belum digali bangsa ini.
Kemudian, bagaimana cara mempraktekkan pemberdayaan maritim yang baik? Tidak bisa asal jalan. Semua teori pun harus dikeluarkan, dari mulai teori transportasi laut, keanekaragaman hayati, manajemen eksplorasi hasil laut, pariwisata bahari, hingga pelestarian laut yang anti perusakkan ekosistem.
Teori dan praktek berjalan sinkron, dan di kampus, kita sebagai mahasiswa mempelajari teori dari disiplin ilmu masing-masing, dan bertanggungjawab untuk mempraktekkan semua teori itu untuk kemajuan bangsa. Jadi, mari membaca buku kuliah sebanyak mungkin dan diskusi dengan dosen serajin mungkin, karena buku adalah hasil observasi lapangan, dan dosen adalah ahli yang telah lebih banyak berpengalaman dari kamu.
Lalu bagaimana prakteknya? Bisa dengan cara berorganisasi.
Memang tidak bisa digeneralisir bahwa semua mahasiswa dari semua disiplin ilmu bisa mendapatkan praktek yang nyata dari organisasi di kampus. Namun, tidak jarang ada organisasi/komunitas yang bekerja sesuai dengan sebuah disiplin ilmu.
Misalnya Water Plant Community di UGM, yang umumnya terdiri dari anak-anak Jurusan Teknik Sipil UGM. Komunitas ini memiliki misi membantu sistem pengairan di daerah-daerah yang mengalami kekeringan seperti di Gunung Kidul, DIY.
Dengan mendesain beragam konstruksi pipa dan pengeboran air bawah tanah, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil membantu masyarakat di desa yang kekeringan dengan melakukan instalasi pipa air bawah tanah, membuat desa tersebut memiliki akses air yang cukup.
Di organisasi Pers Mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik, mahasiswa Jurusan Komunikasi bisa menyalurkan ilmu mereka tentang media dengan memproduksi media yang nyata. Semua teori pun terpakai: teori penulisan berita, desain komunikasi visual, desain grafis, fotografi jurnalistik, jurnalisme presisi, periklanan, manajemen keuangan media, dan sebagainya
Kemudian di Koperasi Mahasiswa (Kopma), mahasiswa Jurusan Akuntansi bisa mempraktekkan ilmu mereka untuk mengatur keuangan, mahasiswa Jurusan Komputer bisa membantu merancang software untuk operasional Kasir di swalayan Koperasi, mahasiswa Jurusan Kearsipan bisa mengurus perpustakaan dan dokumen lembaga, dan lain sebagainya.
Bahkan si mahasiswa Jurusan Politik yang jadi contoh kita tadi, bisa saja gabung di Kopma dan bikin kajian mengenai UU no.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tentunya akan menjadi diskursus yang menarik bagi gerakan Koperasi nasional.

5. Berorganisasi itu, Peduli dengan Lingkungan Sosial

Mentang-mentang jadi akademisi, pantaskah kamu mengabaikan masyarakat di luar tembok kampusmu? (nocamels.com)
Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah Itu Candu pernah mengeluarkan kritik tajam. Menurutnya, orang-orang akademisi seringkali berjarak dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Tembok-tembok tinggi sekolah dan kampus membuat akademisi, pelajar, ataupun mahasiswa, terkurung dalam dunia “Pendidikan Formal” masing-masing. Setiap hari mereka hanya berkutat pada tumpukan buku dan catatan pelajaran, dan jarang sekali tahu fenomena sosial apa yang terjadi di sekitar mereka.
Tahukah kita bahwa ada gelandangan di depan kosan yang tiap malam tidur di trotoar? Tahukah kita bahwa ada anak kecil kelaparan yang menggigil kedinginan di malam yang hujan ini?
Tahukah kita bahwa masyarakat Yogyakarta tengah jengah dengan pendirian hotel dan apartemen yang tengah menjamur? Lebih lanjut lagi, tahukah kita, sekedar tahu saja, bahwa masyarakat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sedang berjuang menolak pendirian pabrik semen di daerah mereka, karena pendirian pabrik di lingkungan tersebut bisa menyebabkan rusaknya sumber air bagi penghidupan mereka? Tentunya masih banyak lagi kasus konflik agraria antara korporasi dan masyarakat setempat yang terjadi di Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk mengajak anda berpolitik praktis, namun memiliki dan memahami wawasan sosial adalah kewajiban kita sebagai manusia, apalagi mahasiswa.
Kepedulian sosial itu, sekali lagi, bisa diwadahi dengan berorganisasi. Bukan berarti kamu harus ikut organisasi gerakan keras dan demo besar-besaran waktu harga BBM naik, kepedulian sosial selalu bisa diawali dari kegiatan kecil dan bertahap. Ketika kamu gabung di organisasi kerohanian/keagamaan, akan sering sekali kamu akan mengadakan kegiatan bakti sosial (baksos), dimana kamu bisa bagi-bagi nasi bungkus untuk pengemis di tengah jalan. Kamu juga berkesempatan melakukan kunjungan ke Panti Asuhan dan mengajar anak-anak Yatim Piatu.
Waterplant Community tadi adalah contoh komunitas dengan kepedulian sosial yang nyata. Dengan menggunakkan ilmu yang mereka miliki, mereka membantu masyarakat yang daerahnya mengalami kekeringan agar mendapat akses air yang lebih baik. Inilah contoh nyata penggunaan teori dalam praktek, untuk misi sosial pula, bukankah untuk ini mahasiswa dan akademisi ada? Bukankah ini esensi ilmu pengetahuan itu sendiri? Mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik?

6. Berorganisasi itu, menambah nilai CV-mu

(redstarresume.com)
Sudah jadi rahasia umum juga bahwa mencantumkan pengalaman berorganisasi dalam CV akan menambah nilai jualmu di hadapan sang reviewer personalia. Dengan punya pengalaman berorganisasi, perusahaan yang merekrutmu pasti akan mempertimbangkanmu baik-baik, karena itu artinya kamu dianggap sudah punya pengalaman dalam bekerja dalam kelompok, alias punya Softskill. (baca juga, 8 Hal yang Membuat CV Anda Makin Powerful)
Kamu bukan sekedar mahasiswa ber-IPK tinggi tapi kerjanya cuma bolak-balik kuliah-pulang-kuliah-pulang (istilah lawas, “mahasiswa kupu-kupu”). IPK itu penting untuk dipertahankan, untuk menunjukkan bahwa kamu serius dalam studimu, tapi jangan sampai kamu mendewakkan IPKmu sehingga tidak mengembangkan diri di luar perkuliahan. (baca juga, Wahai Para Pengejar IPK Tinggi)
Bahkan, ada dua orang teman saya yang pernah melamar kerja (dan diterima) di perusahaan PT. Wijaya Karya dan PT. Astra International bercerita, ketika mereka melamar kerja, dalam seleksi wawancara, reviewer justru malah sering menanyakan kegiatan organisasi ketimbang pelajaran yang dipelajari di bangku kuliah.
Reviewer suka bertanya seperti: “Kamu Jurusan Teknik Sipil? Oke. Saya baca CV kamu, selama di kuliah kamu ikut organisasi XXX ya? Apa jabatanmu di sana? Apa inovasi yang kamu lakukan di organisasi itu? Kenapa kamu melakukan inovasi itu? Apakah akhirnya berhasil?” dan sebagainya.

7. Berorganisasi itu, mungkin bisa mempertemukanmu dengan jodoh

Hehehehe (fanpop.com)
Ini adalah poin bonus, silahkan disimak bila dirasa penting.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa seringkali kita bertemu dengan jodoh hidup kita di bangku kuliah. Untuk mencapai misi mulia itu, tentunya kita harus punya jaringan pertemanan yang luas. Kalau kamu hanya berteman dengan anak-anak sejurusan dan sefakultas, tentu kemungkinan untuk mendapat jodoh jadi tidak terlalu luas, karena opsi yang ada sangat terbatas.
Bayangkan kalau kamu berorganisasi, kamu akan punya banyak teman lintas jurusan lintas fakultas. Selain opsimu jadi tambah banyak, PDKTmu pun jadi tambah segar dan dinamis karena kini kamu bergaul dengan orang yang tidak sejurusan.
Kembali ke contoh mahasiswa Jurusan Politik tadi, eh jangan, kita ganti. Bayangkan ternyata kamu seorang mahasiswi, alias perempuan, yang berkuliah di Jurusan Hubungan Internasional! Kamu adalah seorang calon penerus Ibu Retno L.P. Marsudi, itu lho alumni Jurusan HI UGM yang kini jadi Menteri Luar Negeri.
Nah, bayangkan bahwa kamu baru saja putus dengan pacarmu, yang merupakan mahasiswa Sosiologi dan berasal dari Fakultas yang sama denganmu, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kalian putus karena referensi filosofi cinta kalian berbeda, kamu memaknai cinta dari buku Berjuta Rasanya karangan Tere Liye, sementara mantanmu memegang teguh prinsip yang tercantum dalam Seni Mencinta karya Erich Fromm. Gak nyambung deh.
Syahdan, kamu pun muak dengan dunia ini dan memutuskan untuk refreshing. Secara iseng, kamu pun gabung di Waterplant Community yang sudah sering kamu dengar popularitasnya. Kamu pun berkegiatan di komunitas ini, kamu ikut blusukan ke desa-desa yang mengalami kekeringan, berkoordinasi dengan lurah, warga, dan Karang Taruna setempat, serta melakukan sosialisasi atas instalasi pipa air yang diharapkan akan membantu warga desa.
Kamu menyadari bahwa teori diplomasi yang kamu pelajari di kampus malah berguna di sini. Teman-temanmu yang lain pun bersyukur kamu bergabung di komunitas ini, karena selama ini mereka memang kesulitan dalam berkoordinasi dengan warga. Sesaat kamu sadar, kerja sama akademisi interdisipliner itu penting, sepenting melupakan sudut-sudut gedung FISIPOL yang penuh kenangan atas mantanmu tersebut.
Singkat cerita, kamu dekat dengan seorang mahasiswa Jurusan Teknik Sipil. Seorang lelaki tinggi, kekar, sangar, dan jago benerin ledeng. LAKIK banget deh! Tidak seperti mantanmu yang hobinya menggugat kapitalisme-multinasional tapi ketika atap kamar kosan bocor, langsung panik dan tidak berdaya.
Perlahan kalian makin dekat, awalnya mungkin tidak nyambung karena latar belakang kalian berbeda. Tapi lama-kelamaan kalian mencoba untuk saling memahami. Dia jadi banyak belajar dari kamu bahwa ada perbedaan antara hubungan bilateral dan multilateral antar negara, atau bahwa sebenarnya Indonesia diakui merdeka secara internasional baru pada tahun 1949, proklamasi tahun 1945 adalah klaim sepihak dari masyarakat Indonesia saat itu.
Kamu pun belajar dari dia bahwa bambu adalah material alternatif yang luar biasa untuk konstruksi bangunan di masa depan. Selain tahan gempa saat sudah jadi bangunan, waktu pertumbuhan bambu jelas jauh lebih cepat dari pohon kayu Jati atau sejenisnya.
Singkat cerita, kalian putus menikah
Penutup
Harus diakui, berorganisasi itu memang hanya sekedar metode dalam mencapai mimpi kehidupan kemahasiswaan yang baik. Tidak perlu digeneralisir bahwa berorganisasi adalah satu-satunya jalan demi memiliki jaringan, mengasah soft skill, memperbagus CV, peduli dengan lingkungan sosial, dan mencari jodoh.
Mungkin ada banyak jalan lain, tiap mahasiswa pastilah memiliki caranya masing-masing. Saya pun paham bahwa memang ada jurusan-jurusan tertentu yang beban akademiknya begitu berat, ujian dan makalah selalu ada tiap minggu disertai praktikum setiap hari, sehingga jangankan berorganisasi, bisa tidur nyenyak saja belum tentu.
Namun saya hanya ingin mengajak kepada saudara-saudari mahasiswa sedarah, sebangsa, dan se-skripsi sekalian, bahwa hendaknya kita menjadi pribadi pemuda dinamis dan bertanggungjawab atas almamater kita. Jadilah agen perubahan yang sesungguhnya, gunakan berkah intelektual yang telah kita dapat untuk membantu bangsa dan umat manusia, karena itulah esensi kaum intelektual yang bertanggungjawab atas ilmu pengetahuan yang ia dapat.
Catatan: Berbagai macam cerita ilustrasi dan permisalan yang ada di artikel ini adalah fiksi, berasal dari imajinasi penulis. Mohon maaf bila ada imajinasi dan candaan yang tidak berkenan :)
Perlu dicatat juga bahwa imajinasi tersebut terinspirasi dari kisah nyata dan pengalaman pribadi penulis sebagai mahasiswa Sosiologi di UGM yang pernah aktif di banyak organisasi, kepanitiaan, proyek acara mahasiswa, punya jaringan, tapi tetap saja gak berdaya kalau atap kosannya bocor.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar